2009-12-16
Gubernur Jenderal VOC yang berkuasa dua kali, pada periode berbeda, JP Coen membakar habis Jayakarta dan mendirikan Nieuw Hoorn di atasnya. Nieuw Hoorn seturut dengan nama kota asal JP Coen, Hoorn. Nama itu tak disetujui para pemimpin VOC (Heeren Zeventien) di negara asal Coen, mereka memilih nama Batavier sebagai penghormatan atas nenek moyang bangsa Belanda. Maka jadilah Batavia di tahun 1619.
Serta merta Coen pun membangun kastil, bastion, benteng, tembok sebagai pertahanan menghadapi musuh. Di sekujur Batavia dikelilingi benteng, tembok kota bahkan ketika Batavia Lama ditinggalkan karena makin kotor, menjadi biang penyakit, dan berkembang ke arah selatan, Molenvliet, Weltevreden, Koningsplein, Gondangdia, Meester Cornelis, keberadaan benteng tak lepas dari perencanaan kota.
Namun apa jadinya benteng-benteng kota yang pernah ada di Batavia? Dibabat habis, tentunya. Sisa dalam bentuk fondasi, terkubur di bawah kota yang mengaku sebagai kota metropolis bahkan megapolitan ini. Sisa benteng, tembok kota terkubur di bawah berbagai bangunan yang jumlahnya melesat cepat tanpa konsep jelas.
Jika kemarin saya menulis tentang bagaimana Berlin mengupayakan sebuah wisata terpadu menyusur bekas jalur Tembok Berlin bagi warga Jerman dan negara tetangga, khususnya bagi penggemar sepeda dan pejalan kaki, maka yang terjadi di kota benteng yang sebentar lagi bersuai 500 tahun ini sungguh sangat memprihatinkan. Generasi penerus digeber urusan konsumtif, blackberry, mobil terkini, pergi ke mal atau plasa anu itu yang bikin sesak jalanan dan tanah Jakarta. Bikin banjir, pula, lantaran tanah berisi taman di kota ini lebih baik diganti menjadi hutan beton. Intinya, gaya, gengsi, meski mereka bagaikan generasi amnesia, yang tak lagi mengenal sejarah mereka.
Kembali ke soal benteng, Bank Indonesia membiayai sebuah penelitian yang dilakukan tim arkeologi pimpinan Prof Dr Mundardjito dari Universitas Indonesia. Itu terjadi 2007 lalu. Hasilnya, di bawah bangunan Museum Bank Indonesia, di kawasan Kota Tua, terbentang fondasi tembok kota Batavia. Sayangnya, hasil penemuan itu tak lantas dipublikasikan sebagai pencerahan bagi warga kota ini dan Indonesia.
Maka kemudian, sebuah tim lain, gabungan antara Pemerintah Belanda, Passchier Architects and Consultants (PAC) ; Pusat Dokumentasi Arsitektur Indonesia (PDA) ; serta Dirjen Sejarah dan Purbakala Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, memprakarsai penelitian tenteng benteng di Indonesia. Nadia Purwestri, koordinator riset, bersama timnya, kemudian memperkenalkan hasil penelitian benteng, sementara, di Jawa - termasuk Batavia - dan Sumatera di beberapa tempat. Jika sebelum ini mereka mengambil lokasi di Museum Nasional, maka kini giliran di Museum Bank Indonesia sejak 15 Desember 2009 hingga 15 Januari 2010, di mana di lahan belakang gedung ini ditemukan sebagian fondasi tembok Batavia.
"Kita sudah meneliti benteng di Jawa dan Sumatera, yang harusnya jumlahnya lebih dari 400 tapi yang ditemukan hanya 170. Artinya, benteng itu masih bisa dilihat, meski hanya sisa-sisa. Karena Batavia masuk Jawa, maka pameran ini kami satukan. Kan temanya sama, tentang benteng di Indonesia. Benteng Hollandia ini kan ada di Batavia, di Jawa. Di Kepualaun Seribu juga banyak benteng tapi penelitian kami belum sampai ke sana," papar Nadia yang juga Direktur Eksekutif PDA.
Ia menambahkan, warga umum belum bisa menjenguk lokasi penggalian di mana ditemukan fondasi benteng Batavia. "Karena pembangunan Museum Bank Indonesia kan belum selesai. Nantinya, lokasi penggalian akan dibikin sedemikian rupa supaya warga bisa melihat," ujarnya.
Maka mereka yang penasaran ingin melihat seperti apa fondasi benteng itu, kesempatannya adalah selama sebulan ini di mana jejaknya bisa dinikmati dalam pameran bertajuk Jejak Bastion Hollandia di Batavia.
Lantas, bagaimana pemerintah lokal Jakarta menanggapi hasil penelitian benteng tersebut? Kita nantikan dan lihat saja.
PUSAT DOKUMENTASI ARSITEKTUR COPYRIGHT 2018